1.
CONVENTION ON FISHING AND CONSERVATION OF THE LIVING
RESOURCES OF THE HIGH SEA
Sebuah
konvensi yang mengatur tentang perikanan dan perlindungan sumber daya hayati
yang ada di laut lepas. Negara Kepulauan berkewajiban menghormati hak hak
tradisional penangkapan ikan dan kegiatan lain yang sah dari negara negara
tetangga yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian
tertentu perairan kepulauan yang dahulunya merupakan Laut Lepas. Hak hak
tradisional dan kegiatan lain yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada
atau dibagi dengan negara ketiga atau warganegaranya.
Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut ini mengatur pula rejim rejim
hukum sebagai berikut:
1. Laut
Teritorial dan Zona Tambahan
a. Laut
Teritorial
Konperensi
konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang pertama (1958)
dan kedua (1960) di Jenewa tidak dapat memecahkan masalah lebar Laut Teritorial
karena pada waktu itu praktek negara menunjukkan keanekaragaman dalam masalah
lebar Laut Teritorial, yaitu dari 3 mil laut hingga 200 mil laut.
b. Zona
Tambahan
Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 lebar
Zona Tambahan pada lebar Laut Teritorial diukur, maka Konvensi PBB tentang
Hukum Laut 1982 kini menentukan bahwa, dengan ditentukannya lebar Laut
Teritorial maksimal 12 mil laut, lebar Zona Tambahan adalah maksimal 24 mil laut
diukur dari garis dasar laut Teritorial.
2. Selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional
Penetapan lebar Laut Teritorial
maksimal 12 mil laut membawa akibat bahwa perairan dalam Selat yang semula
merupakan bagian dari Laut Lepas berubah menjadi bagian dari Laut Teritorial
negara negara selat yang mengelilinginya.
3. Zona Ekonomi
Eksklusif
Di Zona Ekonomi
Eksklusif, negara pantai mempunyai:
a. hak berdaulat
untuk tujuan eksploirasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di ruang air dan kegiatan kegiatan
lainnya untuk eksploirasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut seperti
pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;
b. yurisdiksi
yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau pulau buatan, instalasi
instalasi dan bangunan bangunan lainnya, penelitian ilmiah dan perlindungan
serta pelestarian lingkungan laut;
c. kewajiban
untuk menghormati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional, pemasangan
kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip hukum internasional yang berlaku di
Zona Ekonomi Eksklusif;
d. kewajiban
untuk memberikan kesempatan terutama kepada negara tidak berpantai atau negara
yang secara geografis tidak beruntung untuk turut serta memanfaatkan surplus
dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan.
4. Landas
Kontinen
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958
tentang Landas Kontinen yang menetapkan lebar Landas Kontinen berdasarkan pada
kriteria kedalaman atau kriteria kemampuan eksploitasi,
5. Laut Lepas
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958
tentang Laut Lepas yang menetapkan Laut Lepas dimulai dari batas terluar Laut
Teritorial, Konvensi ini menetapkan bahwa Laut Lepas tidak mencakup Zona
Ekonomi Eksklusif, laut teritorial perairan pedalaman dan perairan kepulauan.
2.
UNCLOS 1982
Konvensi Hukum Laut Internasional
(UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial.
Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial harus sesuai
dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batas
yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik
sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapan garis batas laut
teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan,
harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk
penetapan garis posisinya (pasal 16 ayat 1).
Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi
Eksklusif penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik
harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan
ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negar yang pantainya
berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) harus dicantumkan pada peta
dengan sekala yang memadai untuk menentukan posisinya (Pasal 75 Ayat 1).
Ketiga, untuk landas kontinen.
Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik
harus sesuai dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara
yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus
dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk
penentuan posisinya (pasal 84 ayat 1). Konvensi Hukum Laut Internasional
memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap
wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal.
Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut, maka
sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submission ke
PBB mengenai batas landas kontinen Indonesia diluar 200 mil laut, karena secara
posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah
yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen
diluar 200 mil laut.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
(UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut
yaitu,
1. Perairan
Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan
kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional,
3. Laut
Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan
( Contingous waters),
5. Zona ekonomi
eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas
Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas
(High seas),
8. Kawasan dasar
laut internasional (International sea-bed area).
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga
pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan
tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia
memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan
dan laut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan
landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan
sumber daya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan
zona yang tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun, sedangkan kawasan dasar
laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.
-
Di perairan
pedalaman (internal waters) yaitu di teluk, sungai, kanal, muara dan pelabuhan, kapal-kapal dagang memiliki hak
untuk masuk dan kedaulatan penuh
dimiliki oleh Negara pantai yang bersangkutan. Dalam prakteknya, hak
untuk masuk dan keluar pelabuhan dapat dilakukan berdasarkan perjanjian
bilateral antara Negara pantai dan
Negara bendera yang bersangkutan atau menurut
Konvensi tentang Pelabuhan tahun 1923.
-
Di laut
teritorial (sampai maksimum 12 mil laut ke arah laut) berupa hak lintas damai
(innocent passage) sepanjang kegiatan lintas tersebut tidak mengganggu
perdamaian, ketertiban dan keamanan Negara pantai yang bersangkutan dan harus
mematuhi hukum internasional.
-
Di selat (yaitu
sebuah lintas sempit antara satu bagian laut bebas atau ZEE dan satu bagian
laut bebas dengan laut bebas lainnya) berupa hak lintas transit (transit
passage). Hak ini lebih besar dari hak lintas damai dan memberikan kebabasan
berlayar secara kontinyu sepanjang selat.
-
Di perairan
Negara kepulauan (bisa berupa perairan pedalaman atau laut territorial, namun
melewati perairan antara, melewati pulau-pulau dan sejenisnya) berupa hak
lintas damai ditambah dengan hak lintas melalui alur laut kepulauan
(archipelagic sea lanes) yang ditetapkan oleh Negara kepulauan yang
bersangkutan setelah berkonsultasi dengan IMO.
-
Di zona tambahan
(yaitu zona di luar laut teritorial sampai sejauh 24 mil laut dari baselines)
berupa kebebasan berlayar namun dibatasi oleh peraturanperaturan tertentu.
-
Di Zona Ekonomi
Eksklusif (yaitu sebuah zona yang berjarak maksimum 200 mil laut dari
baselines) berupa kebebasan berlayar namun dibatasi oleh peraturanperaturan
tertentu. Negara-negara pantai memiliki hak penting terhadap sumber daya
alamnya dalam ZEE mereka terkait dengan sumber daya hayati dan non hayati serta
sumber-sumber ekonomi, dan lain-lain.
-
Di laut bebas
yaitu semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEE, laut teritorial, perairan
pedalaman atau perairan Negara kepulauan) berupa kebebasan berlayar. Prinsip
kebebasan berlayar tetap dapat dilakukan secara penuh di Zona Tambahan, ZEE,
Landas Kontinen dan Laut Bebas.
3.
UNCED 1992
United Nations Conference on
Environment and Devwelopment (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah
Lingkungan dan Pembangunan atau lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit)
dilakukan setelah dua puluh tahun Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm atau
lima tahun setelah terbitnya Laporan Brundtland. Konferensi ini adalah
konferensi khusus tentang masalah lingkungan dan pembangunan atau yang lebih
dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro,
Brazil. Jargon “Think globally, act locally” yang menjadi tema KTT Bumi menjadi
popular untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan. KTT
Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan (multilaterisme) untuk
mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya
melasanakaqn pembangunan (oleh developmentalist) dan upaya-upaya melestarikan
lingkungan (oleh environmentalist).
Deklarasi Rio de Janeiro, tentang
Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The Rio de Janeiro Declaration on Environment
and Development ) juga dikenal dengan
“Earth Chapter” terdiri atas 27 prinsip yang memacu dan memprakarsai kerja sama
internasional, perlunya pembangunan dilanjutkan dengan prinsip perlindungan
lingkungan, dan perlu adanya analisis mengenai dampak lingkungan. Deklarasi ini
juga mengakui pentingnya peran serta masyarakat yang tidak hanya dikonsultasi
mengenai rencana pembangunan, tetapi juga ikut serta dalam pengambilan
keputusan, serta aktif dalam proses pelaksanaan dan ikut menikmati hasil
pembangunan itu.
Dalam KTT Rio de Janeiro, dihasilkan
lima dokumen meliputi : (a) Deklarasi Rio juga dikenal dengan “Earth Chapter”
(b)Pernyataan Prinsip-Prinsip Kehutanan (c) Konvensi tentang perubahan iklim
(d) Konvensi Keanekaragaman Hayati (e) Agenda-21 merupakan “action plan” yaitu
merupakan aksi pembangunan bewrkelanjutan. Untuk mengawasi dan melaporkan
pelaksanaan keefektifan tindak lanjut dari KTT Bumi maka dibentuklah Komisi
Pembangunan Berkelanjutan /Commission on Sustainable Development (CSD) pada
bulan Desember 1997.
Deklarasi ini juga mengakui pentingnya
peran serta masyarakat yang tidak hanya dikonsultasi mengenai rencana
pembangunan, tetapi juga ikut serta dalam pengambilan keputusan, serta aktif
dalam proses pelaksanaan dan ikut menikmati hasil pembangunan itu.
4.
UNCBD 1992
Konvensi keanekaragaman Hayati dalam
bahasa aslinya bernama United Nations Convention on Biological Diversity.
Konvensi ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara dan/atau kepala
pemerintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi ini diresmikan di Rio
de Janeiro, Brazil.
Prinsip dalam konvensi keanekaragaman
hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan
sumber – sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya
sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan – kegiatan
yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap
lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yuridiksi nasional. Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati melalui Undang-Undang
No. 5/1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity
(Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati) yang memberikan landasan untuk
kerjasama internasional dalam rangka konservasi spesies dan habitat.
Kesepakatan Hukum yang mengikat telah
ditandatangani sejauh ini oleh 168 Negara. Menguraikan langkah-langkah kedepan
dalam pelestarian keragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan komponen –
kompennya, serta pembagian keuntungan yang adil dan pantas dari penggunaan
sumber daya genetic. Konvensi keanekaragaman hayati ini menyatakan dalam Pasal
1 tentang tujuannya, yaitu melestarikan dan mendayagunakan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati dan berbagai keuntungan secara adil dan merata dari hasil
pemanfaatan sumber genetika melalui akses terhadap sumber genetika tersebut,
alih teknologi yang relevan, serta pembiayaan yang cukup dan memadai.
Asas dalam Pasal 3 menyatakan, bahwa
Negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber alamnya sesuai dengan
kebijaksanaan pembangunan dan lingkungannya, serta mempunyai tanggung jawab
untuk menjamin bahwa kegiatannya itu tidak akan merusak lingkungan baik di
dalam maupun di luar wilayah negaranya. Konvensi ini dibuat di Rio de Janeiro
pada tanggal 5 Juni 1992. Pada waktu Konferensi Rio berakhir. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini
dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994. Naskah
Konvensi terdiri atas batang tubuh yang berisi pembukaan dan 42 pasal.
5.
UNFCC
(United Nation Framework Convention on Climate Change)
Merupakan suatu lembaga yang
membahas mengenai issue pemanasan global dan perubahan iklim dunia. Pertama
kali disepakati pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro Brasil, yang sampai saat
ini memiliki anggota sebanyak 192 negara. UNFCC memiliki tujuan untuk
menstabilkan konsentrasi GRK (Gas Rumah Kaca) di atmosfir pada taraf yang tidak
membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan terjadinya adaptasi
ekosistem, sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.
Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yang meliputi CO2, CH4,
N2O, SF6,HFC dan PFC sebagai akibat aktivitas manusia
telah menyebabkan meningkatnya radiasi sinar UV yang terperangkap di atmosfer.
Hal ini berkontribusi terhadap fenomena pemanasan global (global warming) yaitu
meningkatnya suhu permukaan bumi. Pemanasan global mengakibatkan Perubahan
Iklim yang berupa perubahan pada unsur-unsur iklim seperti naiknya suhu
permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan
dan tekanan udara yang pada akhirnya mengubah pola iklim dunia. Forum
pengambilan keputusan tertinggi dalam kerangka UNFCC adalah Conference of parties (COP). Pada
tanggal 12 Desember 1997 yang dilaksanakan di Kyoto Jepang (Conference of parties 3 – COP3)
menegosiasikan bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai
menurunkan emisi GRK mereka. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini
berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran CO2 dan lima gas
rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka
menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan
dengan pemanasan global. Jika sukses diterapkan, Protokol Kyoto diprediksi akan
mengurangi rata-rata suhu global antara 0.02°C dan 0.28°C pada tahun 2050.
6.
CCRF
(Code of Conduct For Responsible Fisheries)
Sebuah kesepakatan yang dilaksanakan di
Roma pada tanggal 31 Oktober 1995 yang merupakan bagian dari konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO.
Tujuan dari konferensi ini yaitu untuk meningkatkan perekonomian perikanan
dunia dengan tetap mengupayakan perlindungan sumberdaya ikan. Standar pola
perilaku tersebut juga memuat beberapa ketentuan yang mungkin atau bahkan sudah
memberikan efek mengikat berdasarkan instrumen hukum lainnya di antara peserta,
seperti pada "Agreement to Promote Compliance with International
Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas
(Compliance Agreement 1993J'. Oleh sebab itu negara-negara dan semua yang
terlibat dalam pengusahaan perikanan didorong untuk memberlakukan Tatalaksana
ini dan mulai menerapkannya. Sasaran penting implementasi CCRF di Indonesia
diantaranya yaitu :
1. Pengelolaan
perikanan
2. Operasi
perikanan
3. Pembangunan
akuakultur
4. Integrasi
perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir
5. Penanganan
pasca panen dan perdagangan
6.
Penelitian perikanan
Kewajiban CCRF harus
dilaksanakan oleh negara, pengusaha dan nelayan. Dimana pada dasarnya semua
pelaku pemanfaat sumberdaya perikanan perlu melakukan perlindungan dan
pembatasan dalam penangkapan ikan, serta mendukung dan membantu langkah-langkah
konservasi.
7.
CTI
(Coral Triangle Initiative)
Coral Triangle (CT) merupakan
kawasan yang membentang dari ujung utara Philiphina, pantai Timur Kalimantan
sampai pulau Bali dan membentang ke arah paling timur Solomon Islands sebagai
kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut paling tinggi di dunia.
Keanekaragaman hayatinya bahkan disinyalir lebih tinggi dari kawasan terumbu
karang paling terkenal didunia yaitu Great Barrier Reef di Australia. Penentuan
kawasan ini ditetapkan berdasarkan kriteria penemuan lebih dari 500 jenis
karang di dalam wilayah perairannya. Sumberdaya hayati CT secara langsung
menopang kehidupan lebih dari 120 juta orang yang tinggal di kawasan ini serta
memberikan manfaat bagi jutaan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Sayangnya
sumberdaya hayati laut tersebut berada dalam ancaman dari berbagai faktor
seperti penangkapan ikan berlebih (overfishing), penangkapan ikan secara
destruktif, perubahan iklim, dan polusi. Oleh karena itu pada tanggal 15 Mei
2009 dilakukan pertemuan tingkat kepala negara yang membahas mengenai upaya-upaya
penyelamatan dan pengelolaan kawasan CT secara berkelanjutan melalui
implementasi Regional Plan of Actions yang telah disepakati bersama. Sebanyak
lima tujuan besar, sepuluh target dan 38 program aksi regional ditetapkan untuk
dapat dilaksanakan sampai dengan tahun 2020. Lima tujuan utama tersebut antara
lain:
a) Penetapan
dan pengelolaan secara efektif kawasan bioecoregional (seascapes),
b) Penerapan
secara utuh pendekatan ekosistem untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan
sumberdaya kelautan lainnya,
c) Penetapan
dan pengelolaan secara efektif Jejaring Kawasan Konservasi Laut,
d)
Adaptasi terhadap perubahan iklim
e)
Membaiknya status spesies-spesies yang terancam
punah.
8.
ATSEF
(Arafura Timor Sea Expert Forum)
Sebuah forum tidak mengikat yang
dimaksudkan untuk membina kerja sama antara organisasi-organisasi pemerintah
dan non-pemerintah di Australia, Indonesia, Papua Nugini dan Timor-Leste, untuk
pemanfaatan sumber daya hayati di Laut Arafura dan Laut Timor secara berkelanjutan.
Di antara hal-hal yang menjadi pusat perhatian Forum ini adalah pencegahan, dan
penghapusan penangkapan ikan ilegal, yang tidak dilaporkan dan tidak diatur
oleh hukum di perairan Arafura dan Timor. Penangkapan ikan yang ilegal, tidak
dilaporkan dan tidak diatur merupakan sebab utama menurunnya stok ikan.
Penangkapan seperti ini menyebabkan semakin banyak jenis hewan terancam punah, selain
merusak habitat di laut maupun di pantai. Membantu membuka kesempatan untuk
memperoleh mata pencaharian yang berkelanjutan atau menjadi alternatif untuk masyarakat
pesisir, tradisional dan pribumi, adalah fokus perhatian yang lain, terutama dalam
hubungan dengan usaha mencapai tujuan forum yaitu pengentasan kemiskinan,
pembangunan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan mencegah
pencemaran lintas perbatasan, memantau populasi ikan dan penangkapan ilegal,
dan bekerjasama dengan masyarakat pribumi setempat, para pakar dalam ATSEF
membantu masyarakat di sekitar Laut Arafura dan Laut Timor untuk menjaga
ketahanan ekonomi, dan pada saat yang sama melindungi ekosistem kelautan yang
penting ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar