Minggu, 06 Oktober 2013

KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE

Interaksi yang dinamis dan harmonis antara mahluk hidup dan lingkungannya akan membentuk suatu tatanan ekosistem. Komponen abiotik dan juga biotik yang menjadi dua unsur penting dalam tatanan ekosistem saling terkait satu sama lainnya. Keterkaitan ini menjadikan interaksi di antara mereka tak bisa dipisahkan. Namun, keseimbangan tersebut akan bermuara pada kerusakan ekosistem dimana lingkungan bukan lagi tempat yang nyaman bagi organisme tersebut untuk tinggal dan hidup.
Kerusakan lingkungan adalah deteriorasi lingkungan dengan hilangnya sumber daya air, udara, tanah, kerusakan ekosistem dan punahnya fauna liar. Gambaran kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan sumberdaya alam yang signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir.
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Hutan mangrove umumnya banyak terdapat di daerah pesisir, seperti pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang memiliki muara sungai besar serta estuaria dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur (Dahuri et al, 1996).
Dewasa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah berubah bentang lahannya, karena umumnya hutan mangrove tidak memiliki batasan yang jelas. Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, Kusmana (2003) menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu pencemaran, konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan  penebangan yang berlebihan.

1.    Kerusakan Alami
Kebakaran hutan mangrove yang pernah terjadi di lahan Pesisir Timur Sembilang pada tahun 1980 – 1990an berhubungan dengan pembukaan lahan yang luas ( untuk perkebunan dan transmigrasi) dan oleh penduduk setempat. Sedangkan kebakaran yang terjadi pada tahun 1997 disebabkan oleh kegiatan penebangan liar, nelayan dan pengembangan kawasan transmigrasi (Dennis et al 2000). Kerusakan yang ditimbulkan karena factor biologi adalah serangan hama. Hama pada tanaman mangrove yang ditemukan di beberapa tempat secara singkat dapay dijelaskan sebagai berikut :
• Ulat ( Lepidoptera )
Ulat kantong Acanthopsyche sp. (Lepidoptera, psychidae) menyerang tanaman Bruguierai spp (tancang) di Cilacap, Rhizophora spp di Purwakarta dan Rhizophora mucronata di Pemalang. Bagian tanaman yang diserang ulat kantong ini adalah bagian daunnya. Daging daun merupakan bagian yang dimakan, urat- urat dan tulang daun tetap utuh. Apabila sebagian besar daging daun habis dimakan, daun akan kering. Tanaman muda yang sebagian besar daun- daun dan kuncup ujung diserang ulat berakibat kematiannya.
Ulat bulu (Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizophora spp di Pemalang, Brebes, Purwakarta. hama ini hamper tiap tahun menyerang tanaman bakau muda yaitu ulat bulu dan sebangsa ulat kantong. Ulat memakan daun sejak menetas sampai menjelang kepompong. Tanaman bakau yang daunnya habis dimakan ulat pada lahan kondisi mongering umumnya mati. Meningkatnya populasi ulat diperkirakan karena langka predator. Usaha penanggulangan pada daun bakau yang diserang dengan menggunakan tangan dan dikeprak, namun karena populasinya tinggi dicoba dengan insektisida yang sangat terbatas dan diatur pelaksanaannya disesuaikan dengan tata waktu kegiatan empang parit.
Ulat pucuk tunas Capua endoeypa (Lepidoptera) menyerang tanaman Rhizopara mucronata di Bali. Ulat yang merupakan larva didalam tunas bibit dan memakan tunas tersebut sebelum daun terbuka. Meskipun bibit tidak akan mati, tetapi akan terhenti atau menjadi lambat pertumbuhan sehingga akan menurun kualitasnya. Adanya serangan ini ditandai oleh adanya telur maupun lubang- lubang kecil pada pucuk tunas bibit. Pengendaliannya dengan cara membuka tunas yang ditandai adanya lubang- lubang kecil, kemudian ulat diambil dan dibunuh.
Ulat daun Dasyehira sp,memakan daun semai Avicenmia marma di Bali. Ulat dapat diatasi dengan memasang jaring plastik diatas bedeng, setelah jaring dibuka, sebaiknya segera diperiksa dan bila dijumpai segera dibunuh. Bila terjadi kerusakan serius bisa disemprot dengan insektisida atau dipindahkan ke bedeng pasang surut.
• Kutu sisik chionapsis sp ( hemiptera, diaspididae)
Hama ini dilaporkan menyerang tanaman reboisasi dari jenis Rhizhopora di Bali tahun 1995 dan kutu sisik berbentuk bulat telur ujungnya membesar yang dilindungi oleh perisai yang lunak. Serangan kutu sisik ini akan menyebabkan daun   menguning dan akhirnya kering. Cara mengendalikan kutu sisik dari hasil penelitian dengan menggunakan fluorbac FC dengan bahan aktif bacilius turingiensisi  dan asodrin 15 wsc, rata- rata serangan hama menurun bahkan sebagian pohon tampak pulih dan berangsur- angsur sehat.
• Belalang
Belalang sering menyerang tanaman mangrove dengan memakan daunnya terutama yang masih muda. Penanganannya belalang diambil atau bila jumlahnya banyak  dengan menggunakan insektisida. Namun penggunaan insektisida tidak dianjurkan.
• Laba- laba
Laba-laba hidup/ bersarang pada tanaman bakau yang kecil dan besar, bambu pancang penguat tanggul, pemakan diantara rekahan sawah dan gulma serta gubug- gubug pantai. Hama laba- laba menyerang tanaman bakau pada bulan kering, baik yang muda maupun tua. Pada tanaman muda laba-laba dapat mematikan tanaman karena tajuk tanaman seluruhnya dibalut rapat oleh jaring laba-laba. Tajuk yang terbungkus dalam waktu lama akan menyebabkan tanaman bakau kering dan mati. Serangan akan lebih hebat jika lingkungan terbuka tanpa tanaman lain. Usaha penanggulangan dengan cara membuikan tempat pemijahan laba- laba berupa vegetasi pada galengan empang parit, bamboo perangkap sekitar empang parit diikuti cara mekanis.
• Ketam
Ketam (Sesarma spp) menyerang buah atau benih Brugmera gymnorrhriza dan Rhizophora spp di Cilacap. Hama ini menyerang pada benih bakau yang masi segar karena mengandung protein karbohidrat ( zat gula). Untuk mengurangi yaitu dengan menurunkan kadar gula benih disimpan selama 1 minggu atau membuat pagar kecil sekitar benih dengan daun paku- pakuan atau menggunakan bumbung bambu.
• Mamalia
Mamalia termasuk hama yang dapat merusak tanaman mangrove diantaranya kera, kerbau, sapi, dan kambing. Binatang ini akan memakan daun yang masih muda hingga habis dan akhirnya tumbuhan mangrove akan mati. Untuk menanggulangi hewan tersebut harus dihalau dan jangan dilepas untuk merumput di dekat tanaman mangrove yang baru tanam.

2.    Kerusakan Akibat Aktivits Manusia Dalam Pembangunan
Faktor utama penyebab kerusakan hutan bakau di Balikpapan adalah bisnis kelapa sawit, industri pesisir, dan perumahan. Terhitung 20 ribu hektar kawasan hutan bakau mengalami kerusakan. Sebagian besar dari hutan bakau yang rusak tersebut telah berganti menjadi perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengelolaannya. Kasus pengrusakan hutan bakau di Balikpapan terus meningkat setiap tahunnya. Sekitar 14 ribu hektar hutan bakau di Balikpapan Barat dan Balikpapan Utara serta 6 ribu hektar hutan bakau di Balikpapan Timur mengalami kerusakan.
Wilayah Teluk Balikpapan yang merupakan lokasi deretan hutan bakau di pesisir barat Balikpapan, banyak ditemui sampah plastik dan rokok yang menyangkut di ranting ataupun mendangkalkan perairan teluk. Pengembangan perkebunan kelapa sawit, industri pesisir terutama Kawasan Industri Kariangau dan kompleks perumahan besar telah menebang bakau di tepi pantai dan pinggiran sungai di teluk ini. Penebangan yang paling parah terjadi di wilayah Ulu teluk, kawasan ini menjadi gersang akibat konversi lahan yang ekstensif untuk perkebunan sawit dan pabrik pengolahannya.
Konsekuensi dari pembangunan Jembatan Pulau Balang yaitu kerusakan hutan dalam skala besar baik secara langsung maupun tidak langsung, pembukaan akses ke hutan, kebakaran lahan, pembangunan ilegal, perburuan hewan yang dilindungi dan pengembangan industri yang tidak bisa dibatasi. Pembangunan jembatan tersebut juga membuat hutan bakau di Teluk Balikpapan terisolasi dengan hutan sekunder yang merupakan tempat bekantan mencari makan.
Menurut Purwoko & Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara masyarakat dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak yang cukup serius terhadap ekosistem kawasan maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal ini mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian dan kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di sisi yang lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya terhadap perekonomian wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian ekosistem mangrove mutlak harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara untuk mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan ekosistem kehidupan di sekitar kawasan pesisir.

3.    Beban pencemaran lingkungan
Tumpahan minyak bumi dan hasil- hasil olahannya dengan kapal laut semakin meningkat. Kebocoran, tumpahan dan pembuangan bahan tersebut ke laut sudah sering terjadi. Di berbagai tempat, jalur- jalur angkutan ini berbatasan dengan kawasan mangrove (misalnya selat Malaka) dan kebocoran setra pembuangan minyak dengan sengaja telah menunjukkan dampak negative yang nyata terhadap mangrove. Efek kehadiran minyak di mangrove dapat dibedakan dalam dua kategori. Kategori pertama adalah efek laut yang akut, segera terlihat dan berkaitan dengan pelaburan oleh minyak pada permukaan tumbuhan (pepagan, akar tunjang, akar napas) yang mempunyai fungsi dalam pertukaran udara. Dalam kondisi pelaburan oleh minyak yang sangat kuat, tumbuhan mangrove dapat mati dalam waktu 72 jam. Pengguguran daun dan kematian pohon- pohon mangrove di tempat –tempat yang paling berpengaruh terjadi 4- 5 minggu. Kategori kedua berkaitan dengan peracunan kronik dalam jangka panjang tumbuhan mangrove dan fauna yang bersangkutan oleh komponen racun yang terkandung dalam minyak.
Kegiatan pertanian, agro- industri, industry kimia dan rumah tangga menghasilkan limbah dalam jumlah yang beraneka dan kemudian dibuang ke sungai atau pantai. Limbah cair terlarut atau membentuk suspensi dalam air. Sebagian limbah cair ini berupa bahan anorganik yang juga terdapat di alam, tetapi kehadiran dalam jumlah berlebihan dalam lingkungan akuatik menyebabkan bahan itu tidak semuanya dapat didaur ulang secara alami. Dalam banyak kasus, pestisida dan antibiotic juga kerap kali digunakan, bahkan untuk pengolahan tambak tradisional.
Penambangan mineral mineral, telah berkembang di kawasan pesisir. Penambangan dalam ekosistem mangrove mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di daerah sekitarnya dapat menimbulkan berbagai macam efek yang merusak. Efek yang paling mencolok adalah pengendapan bahan-bahan yang dibawa air permukaan ked an dalam mangrove.  Pengendapan yang berlebihan akan merusak mangrove karena terjadinya penghambatan pertukaran air, hara dan udara dalam substrat dan air diatasnya. Bila proses pertukaran ini tidak berlangsung, kematian mangrove akan terjadi dalam waktu singkat. Terhentinyaa sebagian proses pertukaran menimbulkan tekanan pada mangrove, yang terlihat pada penurunan produktifitas dan kemampuan. Selanjutnya jaringan makanan yang berlandaskan pada adanya detritus di mangrove terganggu pula dan secara keseluruhan dapat menurunkan pula produktivitas ikan.
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove di Pesisir Kota Batam secara kasat mata telah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh penyebab langsung maupun karena faktor-faktor pemicu lainnya.  Salah satu penyebab rusaknya ekosistem mangrove di Pesisir Kota Batam adalah pencemaran air laut terutama karena ulah manusia yang tanpa sadar lingkungan melakukan pembuangan limbah baik limbah cair maupun limbah padat. Jika kita melihat Pantai Nongsa, sampah-sampah tersebar pula di sepanjang pesisir pantai. Selain itu, yang tak kalah membuat miris adalah beragam proyek pembangunan, alih fungsi lahan, maupun penebangan kayu mangrove.



DAFTAR ACUAN

Anonim. 2011. Kerusakan Hutan Bakau di Balikpapan. http://id. wikipedia.org/wiki/Kerusakan_hutan_bakau_di_Balikpapan. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2013 pada pukul 14. 15 WIB

Anonim. 2012. Kerusakan Ekosistem Air Laut. http://www.bimbingan.org/ kerusakan-ekosistem-air-laut.htm. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2013 pada pukul 14. 15 WIB

Anonim. 2013. Kerusakan Mangrove di Batam. http://green.kompasiana.com/ penghijauan/2013/08/26/batam-kota-pusat-pertumbuhan-dan-ancaman-kerusakan-mangrove-586444.html. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2013 pada pukul 14. 15 WIB

Anonim. 2013. Penyebab Kerusakan Ekosistem. http://ekosistem-ekologi. blogspot.com/2013/02/penyebab-kerusakan-ekosistem.html. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2013 pada pukul 14. 15 WIB

Hauliah, Sary. 2012. Kerusakan Ekosistem Mangrove. http://saryhauliah. blogspot.com/2012/01/kerusakan-ekosistem-mangrove-dan.html. Diakses pada tanggal 2 Oktober 2013 pada pukul 14. 15 WIB


LANDASAN HUKUM KONSERVASI NASIONAL DAN INTERNASIONAL

1.    CONVENTION ON FISHING AND CONSERVATION OF THE LIVING RESOURCES OF THE HIGH SEA
Sebuah konvensi yang mengatur tentang perikanan dan perlindungan sumber daya hayati yang ada di laut lepas. Negara Kepulauan berkewajiban menghormati hak hak tradisional penangkapan ikan dan kegiatan lain yang sah dari negara negara tetangga yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian tertentu perairan kepulauan yang dahulunya merupakan Laut Lepas. Hak hak tradisional dan kegiatan lain yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi dengan negara ketiga atau warganegaranya.
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut ini mengatur pula rejim rejim hukum sebagai berikut:
1. Laut Teritorial dan Zona Tambahan
     a.  Laut Teritorial
Konperensi konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang pertama (1958) dan kedua (1960) di Jenewa tidak dapat memecahkan masalah lebar Laut Teritorial karena pada waktu itu praktek negara menunjukkan keanekaragaman dalam masalah lebar Laut Teritorial, yaitu dari 3 mil laut hingga 200 mil laut.
     b.  Zona Tambahan
          Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 lebar Zona Tambahan pada lebar Laut Teritorial diukur, maka Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 kini menentukan bahwa, dengan ditentukannya lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut, lebar Zona Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar laut Teritorial.
2. Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
          Penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut membawa akibat bahwa perairan dalam Selat yang semula merupakan bagian dari Laut Lepas berubah menjadi bagian dari Laut Teritorial negara negara selat yang mengelilinginya.
3. Zona Ekonomi Eksklusif
Di Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai mempunyai:
a. hak berdaulat untuk tujuan eksploirasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di ruang air dan kegiatan kegiatan lainnya untuk eksploirasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;
b. yurisdiksi yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau pulau buatan, instalasi instalasi dan bangunan bangunan lainnya, penelitian ilmiah dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut;
c. kewajiban untuk menghormati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional, pemasangan kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip hukum internasional yang berlaku di Zona Ekonomi Eksklusif;
d. kewajiban untuk memberikan kesempatan terutama kepada negara tidak berpantai atau negara yang secara geografis tidak beruntung untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan.
4. Landas Kontinen
          Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan lebar Landas Kontinen berdasarkan pada kriteria kedalaman atau kriteria kemampuan eksploitasi,
5. Laut Lepas
          Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas yang menetapkan Laut Lepas dimulai dari batas terluar Laut Teritorial, Konvensi ini menetapkan bahwa Laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial perairan pedalaman dan perairan kepulauan.

2.    UNCLOS 1982
          Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial. Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya (pasal 16 ayat 1).
          Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negar yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) harus dicantumkan pada peta dengan sekala yang memadai untuk menentukan posisinya (Pasal 75 Ayat 1).
          Ketiga, untuk landas kontinen. Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penentuan posisinya (pasal 84 ayat 1). Konvensi Hukum Laut Internasional memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submission ke PBB mengenai batas landas kontinen Indonesia diluar 200 mil laut, karena secara posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen diluar 200 mil laut.
          Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu,
1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).
          Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.
-       Di perairan pedalaman (internal waters) yaitu di teluk, sungai, kanal, muara dan  pelabuhan, kapal-kapal dagang memiliki hak untuk masuk dan kedaulatan penuh  dimiliki oleh Negara pantai yang bersangkutan. Dalam prakteknya, hak untuk masuk dan keluar pelabuhan dapat dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral  antara Negara pantai dan Negara bendera yang bersangkutan atau menurut  Konvensi tentang Pelabuhan tahun 1923.
-       Di laut teritorial (sampai maksimum 12 mil laut ke arah laut) berupa hak lintas damai (innocent passage) sepanjang kegiatan lintas tersebut tidak mengganggu perdamaian, ketertiban dan keamanan Negara pantai yang bersangkutan dan harus mematuhi hukum internasional.
-       Di selat (yaitu sebuah lintas sempit antara satu bagian laut bebas atau ZEE dan satu bagian laut bebas dengan laut bebas lainnya) berupa hak lintas transit (transit passage). Hak ini lebih besar dari hak lintas damai dan memberikan kebabasan berlayar secara kontinyu sepanjang selat.
-       Di perairan Negara kepulauan (bisa berupa perairan pedalaman atau laut territorial, namun melewati perairan antara, melewati pulau-pulau dan sejenisnya) berupa hak lintas damai ditambah dengan hak lintas melalui alur laut kepulauan (archipelagic sea lanes) yang ditetapkan oleh Negara kepulauan yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan IMO.
-       Di zona tambahan (yaitu zona di luar laut teritorial sampai sejauh 24 mil laut dari baselines) berupa kebebasan berlayar namun dibatasi oleh peraturanperaturan tertentu.
-       Di Zona Ekonomi Eksklusif (yaitu sebuah zona yang berjarak maksimum 200 mil laut dari baselines) berupa kebebasan berlayar namun dibatasi oleh peraturanperaturan tertentu. Negara-negara pantai memiliki hak penting terhadap sumber daya alamnya dalam ZEE mereka terkait dengan sumber daya hayati dan non hayati serta sumber-sumber ekonomi, dan lain-lain.
-       Di laut bebas yaitu semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEE, laut teritorial, perairan pedalaman atau perairan Negara kepulauan) berupa kebebasan berlayar. Prinsip kebebasan berlayar tetap dapat dilakukan secara penuh di Zona Tambahan, ZEE, Landas Kontinen dan Laut Bebas.

3.    UNCED 1992
          United Nations Conference on Environment and Devwelopment (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan atau lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit) dilakukan setelah dua puluh tahun  Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm atau lima tahun setelah terbitnya Laporan Brundtland. Konferensi ini adalah konferensi khusus tentang masalah lingkungan dan pembangunan atau yang lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Jargon “Think globally, act locally” yang menjadi tema KTT Bumi menjadi popular untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan. KTT Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan (multilaterisme) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya melasanakaqn pembangunan (oleh developmentalist) dan upaya-upaya melestarikan lingkungan (oleh environmentalist).
          Deklarasi Rio de Janeiro, tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The Rio de Janeiro Declaration on Environment and Development )  juga dikenal dengan “Earth Chapter” terdiri atas 27 prinsip yang memacu dan memprakarsai kerja sama internasional, perlunya pembangunan dilanjutkan dengan prinsip perlindungan lingkungan, dan perlu adanya analisis mengenai dampak lingkungan. Deklarasi ini juga mengakui pentingnya peran serta masyarakat yang tidak hanya dikonsultasi mengenai rencana pembangunan, tetapi juga ikut serta dalam pengambilan keputusan, serta aktif dalam proses pelaksanaan dan ikut menikmati hasil pembangunan itu.
          Dalam KTT Rio de Janeiro, dihasilkan lima dokumen meliputi : (a) Deklarasi Rio juga dikenal dengan “Earth Chapter” (b)Pernyataan Prinsip-Prinsip Kehutanan (c) Konvensi tentang perubahan iklim (d) Konvensi Keanekaragaman Hayati (e) Agenda-21 merupakan “action plan” yaitu merupakan aksi pembangunan bewrkelanjutan. Untuk mengawasi dan melaporkan pelaksanaan keefektifan tindak lanjut dari KTT Bumi maka dibentuklah Komisi Pembangunan Berkelanjutan /Commission on Sustainable Development (CSD) pada bulan Desember 1997.
          Deklarasi ini juga mengakui pentingnya peran serta masyarakat yang tidak hanya dikonsultasi mengenai rencana pembangunan, tetapi juga ikut serta dalam pengambilan keputusan, serta aktif dalam proses pelaksanaan dan ikut menikmati hasil pembangunan itu.

4.    UNCBD 1992
          Konvensi keanekaragaman Hayati dalam bahasa aslinya bernama United Nations Convention on Biological Diversity. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara dan/atau kepala pemerintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi ini diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil.
          Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber – sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan – kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yuridiksi nasional.  Indonesia  telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati melalui Undang-Undang No. 5/1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati) yang memberikan landasan untuk kerjasama internasional dalam rangka konservasi spesies dan habitat.
          Kesepakatan Hukum yang mengikat telah ditandatangani sejauh ini oleh 168 Negara. Menguraikan langkah-langkah kedepan dalam pelestarian keragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan komponen – kompennya, serta pembagian keuntungan yang adil dan pantas dari penggunaan sumber daya genetic. Konvensi keanekaragaman hayati ini menyatakan dalam Pasal 1 tentang tujuannya, yaitu melestarikan dan mendayagunakan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan berbagai keuntungan secara adil dan merata dari hasil pemanfaatan sumber genetika melalui akses terhadap sumber genetika tersebut, alih teknologi yang relevan, serta pembiayaan yang cukup dan memadai.
          Asas dalam Pasal 3 menyatakan, bahwa Negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber alamnya sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan dan lingkungannya, serta mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatannya itu tidak akan merusak lingkungan baik di dalam maupun di luar wilayah negaranya. Konvensi ini dibuat di Rio de Janeiro pada tanggal 5 Juni 1992. Pada waktu Konferensi Rio berakhir.  Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994. Naskah Konvensi terdiri atas batang tubuh yang berisi pembukaan dan 42 pasal.

5.    UNFCC (United Nation Framework Convention on Climate Change)
Merupakan suatu lembaga yang membahas mengenai issue pemanasan global dan perubahan iklim dunia. Pertama kali disepakati pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro Brasil, yang sampai saat ini memiliki anggota sebanyak 192 negara. UNFCC memiliki tujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK (Gas Rumah Kaca) di atmosfir pada taraf yang tidak membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem, sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yang meliputi CO2, CH4, N2O, SF6,HFC dan PFC sebagai akibat aktivitas manusia telah menyebabkan meningkatnya radiasi sinar UV yang terperangkap di atmosfer. Hal ini berkontribusi terhadap fenomena pemanasan global (global warming) yaitu meningkatnya suhu permukaan bumi. Pemanasan global mengakibatkan Perubahan Iklim yang berupa perubahan pada unsur-unsur iklim seperti naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya mengubah pola iklim dunia. Forum pengambilan keputusan tertinggi dalam kerangka UNFCC adalah Conference of parties (COP). Pada tanggal 12 Desember 1997 yang dilaksanakan di Kyoto Jepang (Conference of parties 3 – COP3) menegosiasikan bagaimana negara-negara peratifikasi konvensi harus mulai menurunkan emisi GRK mereka. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran CO2 dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diterapkan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata suhu global antara 0.02°C dan 0.28°C pada tahun 2050.

6.    CCRF (Code of Conduct For Responsible Fisheries)
     Sebuah kesepakatan yang dilaksanakan di Roma pada tanggal 31 Oktober 1995 yang merupakan bagian dari konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO. Tujuan dari konferensi ini yaitu untuk meningkatkan perekonomian perikanan dunia dengan tetap mengupayakan perlindungan sumberdaya ikan. Standar pola perilaku tersebut juga memuat beberapa ketentuan yang mungkin atau bahkan sudah memberikan efek mengikat berdasarkan instrumen hukum lainnya di antara peserta, seperti pada "Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (Compliance Agreement 1993J'. Oleh sebab itu negara-negara dan semua yang terlibat dalam pengusahaan perikanan didorong untuk memberlakukan Tatalaksana ini dan mulai menerapkannya. Sasaran penting implementasi CCRF di Indonesia diantaranya yaitu :
1.      Pengelolaan perikanan
2.      Operasi perikanan
3.      Pembangunan akuakultur
4.      Integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir
5.      Penanganan pasca panen dan perdagangan
6.      Penelitian perikanan
Kewajiban CCRF harus dilaksanakan oleh negara, pengusaha dan nelayan. Dimana pada dasarnya semua pelaku pemanfaat sumberdaya perikanan perlu melakukan perlindungan dan pembatasan dalam penangkapan ikan, serta mendukung dan membantu langkah-langkah konservasi.

7.    CTI (Coral Triangle Initiative)
Coral Triangle (CT) merupakan kawasan yang membentang dari ujung utara Philiphina, pantai Timur Kalimantan sampai pulau Bali dan membentang ke arah paling timur Solomon Islands sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut paling tinggi di dunia. Keanekaragaman hayatinya bahkan disinyalir lebih tinggi dari kawasan terumbu karang paling terkenal didunia yaitu Great Barrier Reef di Australia. Penentuan kawasan ini ditetapkan berdasarkan kriteria penemuan lebih dari 500 jenis karang di dalam wilayah perairannya. Sumberdaya hayati CT secara langsung menopang kehidupan lebih dari 120 juta orang yang tinggal di kawasan ini serta memberikan manfaat bagi jutaan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Sayangnya sumberdaya hayati laut tersebut berada dalam ancaman dari berbagai faktor seperti penangkapan ikan berlebih (overfishing), penangkapan ikan secara destruktif, perubahan iklim, dan polusi. Oleh karena itu pada tanggal 15 Mei 2009 dilakukan pertemuan tingkat kepala negara yang membahas mengenai upaya-upaya penyelamatan dan pengelolaan kawasan CT secara berkelanjutan melalui implementasi Regional Plan of Actions yang telah disepakati bersama. Sebanyak lima tujuan besar, sepuluh target dan 38 program aksi regional ditetapkan untuk dapat dilaksanakan sampai dengan tahun 2020. Lima tujuan utama tersebut antara lain:
a)      Penetapan dan pengelolaan secara efektif kawasan bioecoregional (seascapes),
b)      Penerapan secara utuh pendekatan ekosistem untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya,
c)      Penetapan dan pengelolaan secara efektif Jejaring Kawasan Konservasi Laut,
d)     Adaptasi terhadap perubahan iklim
e)      Membaiknya status spesies-spesies yang terancam punah.

8.    ATSEF (Arafura Timor Sea Expert Forum)

Sebuah forum tidak mengikat yang dimaksudkan untuk membina kerja sama antara organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah di Australia, Indonesia, Papua Nugini dan Timor-Leste, untuk pemanfaatan sumber daya hayati di Laut Arafura dan Laut Timor secara berkelanjutan. Di antara hal-hal yang menjadi pusat perhatian Forum ini adalah pencegahan, dan penghapusan penangkapan ikan ilegal, yang tidak dilaporkan dan tidak diatur oleh hukum di perairan Arafura dan Timor. Penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur merupakan sebab utama menurunnya stok ikan. Penangkapan seperti ini menyebabkan semakin banyak jenis hewan terancam punah, selain merusak habitat di laut maupun di pantai. Membantu membuka kesempatan untuk memperoleh mata pencaharian yang berkelanjutan atau menjadi alternatif untuk masyarakat pesisir, tradisional dan pribumi, adalah fokus perhatian yang lain, terutama dalam hubungan dengan usaha mencapai tujuan forum yaitu pengentasan kemiskinan, pembangunan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan mencegah pencemaran lintas perbatasan, memantau populasi ikan dan penangkapan ilegal, dan bekerjasama dengan masyarakat pribumi setempat, para pakar dalam ATSEF membantu masyarakat di sekitar Laut Arafura dan Laut Timor untuk menjaga ketahanan ekonomi, dan pada saat yang sama melindungi ekosistem kelautan yang penting ini.