Minggu, 23 Juni 2013

POTENSI SPONS Petrosia Sp SEBAGAI BAHAN ANTIKANKER

Sampai saat ini kanker masih merupakan salah satu penyakit penyebab kematian utama di dunia. Berbagai macam senyawa telah dikembangkan melawan kanker yang meliputi senyawa-senyawa pengalkilasi, antimetabolit, obat-obat radiomimetik, hormon dan senyawa antagonis (Cram et al., 1992; Calabresi and Chabner, 1991; Hoppe et al., 1992; Lorgan et al., 1996). Akan tetapi tak satupun jenis senyawa-senyawa ini menghasilkan efek yang memuaskan dan tanpa efek samping yang merugikan (Green et al., 1982; Herzig et al., 1987). Senyawa organik yang berasal dari sumber alam hayati terdiri dari 2 kelompok senyawa berdasarkan proses metabolismenya yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini kemudian lebih dikenal dengan senyawa organik bahan alam (natural products).
Kehadiran metabolit sekunder telah memberikan ciri khas tersendiri bagi organisme yang menghasilkannya. Biosintesis metabolit sekunder berasal dari metabolit primer yang dimulai dari proses fotosintesis yang membentuk glukosa. Selanjutnya glikolisis dari glukosa akan menghasilkan posfoenol piruvat, yang berikutnya akan menghasilkan asam shikimat dan asetil koenzim-A (menurunkan asam mevalonat dan asam malonat), yang pada akhirnya akan menghasilkan beragam bentuk struktur molekul senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok berdasarkan struktur molekul dan komposisinya, diantaranya yaitu: terpenoid, steroid, flavonoid, alkaloid, kumarin, kuinon, dan lignan.
Salah satu senyawa organik bahan alam yang berasal dari jenis alkaloid bisindol seperti Vinblastin dan vinkristin, telah berhasil diisolasi dari tumbuhan Catharanthus roseus (Apocynaceae) dan sangat terkenal sebagai obat antikanker. Penemuan vinblastin pertama kali dilaporkan oleh Noble dan Beer (1958) dari University of Western Ontario dan vinkristin dilaporkan pertama kali oleh Svoboda (1962) dari perusahaan Eli Lilly. Vinkristin digunakan pada kemoterapi penyakit leukemia, sedangkan vinblastin digunakan pada kemoterapi kanker kandung kemih dan payudara. Senyawa antikanker lain yang  berhasil ditemukan adalah taksol yang diisolasi dari Taxus brevifolia (Taxaceae) pada tahun 1971 oleh Wall dan Wani. Taksol memiliki struktur unik yang termasuk anggota kelompok senyawa diterpenoid taksan. Taksol dikenal juga dengan nama generik paclitaxel telah disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 1992 untuk pengobatan kanker ovarium, diikuti pada tahun 1994 untuk pengobatan kanker payudara.
Taksol merupakan senyawa fenomenal dengan nilai jual telah melebihi 1 milyar dollar pada tahun 1998 dan pada tahun 2006 telah mencapai 1,6 milyar dollar yang diproduksi oleh Bristol Myers-Squibb. Saat ini produksi taksol telah menggunakan teknologi fermentasi sel tumbuhan. Belakangan juga telah dilakukan semisintesis untuk menghasilkan beberapa produk analog taksol. Metabolit yang dihasilkan oleh mikroorganisme sudah lama diketahui memiliki aktivitas antitumor, bahkan banyak diantara senyawanya sangat terkenal untuk kemoterapi penyakit kanker. Bermula disekitar tahun 1940 ketika ditemukannya aktinomisin, maka sesudahnya banyak bermunculan obat-obat antikaker baru dari sumber mikroorganisme.
Obat-obat dari sumber mikroba yang telah disetujui penggunaannya sebagai antikanker adalah aktinomisin D, antrasiklin (daunorubisin, doksorubisin, epirubisin, pirarubisin dan valrubisin), bleomisin, mitomisin C, dan antrasenon (mitramisin, streptozotosin dan pentostatin). Aktinomisin D merupakan metabolit mikroba paling awal yang disetujui penggunaannya untuk terapi kanker oleh FDA pada tahun 1964. Aktinomisin D diperoleh pertama kali dari Actinomyces antibioticus (sekarang Streptomyces antibioticus) oleh Waksman dan Woodruff pada tahun 1941. Senyawa-senyawa antrasiklin yang diperoleh dari mikroba juga diketahui sangat efektif digunakan sebagai antikanker. Senyawa antrasiklin pertama yang ditemukan adalah daunorubisin (daunomisin) pada tahun 1966 yang dihasilkan oleh Streptomyces peucetius, menyusul setahun kemudian dikembangkan doksorubisin (adriamisin). Antrasiklin lain sebagai antikanker, yaitu epirubisin (1984), pirarubisin (1988), dan terakhir valrubisin (1999) sebagai produk semisintetik yang digunakan pengobatan kanker kandung kemih.
Sumber daya alam kelautan memiliki potensi besar sebagai sumber penghasil obat-obatan. Walaupun belum ada obat yang berasal dari sumber bahan alam kelautan yang telah disetujui penggunaannya dan telah dikomersialkan, namun cukup banyak senyawa-senyawa bioaktif yang telah berhasil ditemukan dari sumber tersebut. Disamping itu, ada beberapa senyawa antikanker lain yang sedang dalam tahap uji praklinis, yaitu: laulimalida (Cacospongia mycofijiensis), kurasin A (Lyngbya majuscula), vitilevuamida (Didemnum cucliferum), diazonamida (Diazona angulata), sarkodiktiin (Sarcodictyon roseum), pelorusida A (Mycale hentscheli), tiokoralin (Micromonospora marina) dan variolin B (Kirpatrickia variolosa).
Potensi biota laut sebagai sumber bahan bioaktif baru banyak diteliti dalam tahun-tahun terakhir, meskipun belum sebanyak penelitian terhadap biota darat. Sejarah evolusi yang panjang pada biota laut menyebabkan biota laut mempunyai keaneka ragaman molekul yang sangat tinggi. Berbagai jenis senyawa dengan bermacam-macam bioaktivitas telah ditemukan dari biota tersebut mulai dari antibakteri, anti jamur anti virus, antiplasmodium dan sebagainya. Walaupun sampai saat ini pemanfaatan biota laut di Indonesia masih belum optimal terutama di bidang farmasi. Diantara berbagai biota laut, sponge merupakan sumber bahan bioktif yang paling kaya (Belarbi et al, 2003). Misalnya, spons mengandung senyawa anti virus (Wipf and Lim, 1995, Cutignano et al, 2000, Welington et al, 2000), antibakteri (Cafieri et al, 1998 Pettit et al, 1997), anti jamur (Sata et al, 1999 Clarks et al, 1998), dan anti kanker (Septic et al, 1997).
Beberapa senyawa yang memiliki aktifitas farmakologi sudah berhasil diisolasi dari spons. Didemnin B merupakan senyawa hasil isolasi dari Trididemnum solidum dilaporkan mempunyai aktivitas antitumor dan antivirus. Dalam spons Luffariella variabilis terdapat senyawa Luffariellolida yang berkhasiat antiinflamasi (David and Oscar, 1993). Callyspongia sp. merupakan salah satu jenis spons yang banyak tumbuh di perairan wilayah Indonesia. Spons ini adalah salah satu biota laut yang mengandung berbagai metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat (Satari, 1999). Isolat dari spons ini dilaporkan memiliki aktivitas antikanker, antimikroba dan antiparasit (Amir dan Budiyanto, 1996).
Spons merupakan organisma multiseluler tak bertulang belakang yang potensial dijadikan bahan eksplorasi pencarian senyawa baru antikanker karena spons merupakan penghasil senyawa bioaktif antiviral maupun senyawa sitotoksik (Garson, 1994). Studi pendahuluan telah dilakukan dengan tujuan untuk menskrining senyawa toksik dari beberapa spesies spons laut dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) (Astuti et al., 2002; Astuti et al, 2003; Carballo et al., 2002). Dua isolat toksik terhadap larva Artemia salina Leach dari spons laut Petrosia sp telah berhasil diisolasi.
Dari studi literatur, diketahui bahwa senyawa yang telah berhasil diisolasi dari genus Petrosia di antaranya Petrosin-A dan -B, dua Alkaloid bis-Kuinolizidin baru dari spons Petrosia seriata (Braekman et al., 1984), alkaloid manzamin A aktif sitotoksik dan dideoxypetrosynol A yang aktif sebagai antitumor pada sel melanoma manusia (Kim et al., 1998), Petrocortynes A-C, Petrosiacetylenes A-C aktif sitotoksik (Seo et al., 1998), serta Manzamin A, dan 8-OH Manzamin A dari Petrosia sp. yang dikoleksi dari perairan pantai Bunaken-Manado aktif menghambat proliferasi beberapa sel kanker manusia secara in vitro (Gemini et al., 2005). Potensi sitotoksik yang dimiliki oleh Petrosia sp. diharapkan dapat digunakan sebagai sumber senyawa antitumor atau antikanker baru, mengingat kanker masih merupakan penyakit penyebab kematian utama di dunia (Astuti et al., 2005).
            Spons Petrosia sp. Memiliki ukuran yang beragam, mulai jenis berukuran sebesar jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran garis tengahnya 0,9 m dan tebalnya 30,5 cm. Untuk mempertahankan diri dari predator, spons memiliki senjata perisai berupa senyawa kimia membentuk metabolit sekunder, yang ditakuti dan dihindari predator karena beracun. Sesuai dengan fungsinya untuk melindungi diri dari predator, senyawa ini bersifat toksik dan berkhasiat juga sebagai antikanker (cytotoxic) dan antibiotik (McConnaughey, 1970 in Munifah et al., 2008). Menurut Lindgren (1897), klasifikasi spons laut Petrosia nigricans adalah sebagai berikut:
Kingdom         : Animalia
Filum               : Porifera
Kelas               : Demospongia
Ordo                : Haplosclerida
Sub Ordo        : Petrosina
Famili              : Petrosiidae
Genus              : Petrosia sp.
Spesies            : Petrosia nigricans
Genus Petrosia sp. memiliki tujuh spesies dengan karakteristik tubuh yang massif, tebal, kokoh, dan berbentuk pipa. Warna yang dimiliki pun beraneka ragam yaitu kuning hingga cokelat (Petrosia alfiani), merah kecoklatan hingga hitam (Petrosia hoeksemai), cokelat keemasan (Petrosia lignosa), cokelat kehitaman (Petrosia nigricans), cokelat keabuan hingga cokelat gelap (Petrosia plana), kuning kehijauan hingga menjadi cokelat (Petrosia carcicata), dan cokelat tua hingga hitam (Petrosia strongylata). Spons Petrosia ini biasanya terdapat di perairan dangkal hingga perairan sampai kedalamannya 45 meter. Spons ini juga dapat hidup pada habitat berkarang baik karang hidup maupun mati, habitat rubble (pecahan karang), dan habitat berpasir (De Voogd, 2005).
            Selain Petrosia sp, spons lain seperti Aaptos aaptos juga memiliki khasiat sebagai antikanker. Dari hasil pengujian bioaktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. terhadap bakteri target dan Artemia salina menunjukkan hasil yang bervariasi pada sampel alam dan transplantasi. Secara keseluruhan, spons Aaptos aaptos menunjukkan bioaktivitas yang lebih tinggi daripada Petrosia sp. Hal ini disebabkan oleh senyawa bioaktif yang dikandung oleh kedua spons merupakan senyawa dengan struktur dan jenis yang berbeda. Pada spon Aaptos aaptos mengandung senyawa homarine dan piridiniumbetain B (Granato et al. 2000).
Bergquist (1991, diacu dalam Miller et al. 1969) dan Pelletier et al. (1987) mengemukakan lebih lanjut bahwa Aaptos mengandung senyawa aaptamine dan senyawa demethyloxyaaptamine yang termasuk dalam golongan alkaloid.   Sedangkan spons Petrosia sp. diketahui mengandung senyawa yang termasuk ke dalam kelompok poliasetilen. Senyawa ini diketahui memiliki potensi sebagai antimikroba, antifungi, antifouling, H+, inhibitor K+-ATPase, inhibitor HIV, dan aktivitas antitumor serta immunosuppresive (Young et al. 1999; Kim et al. 2002; www.cas.muohio.edu).
Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap Aaptos aaptos menunjukkan bahwa spons ini memiliki senyawa bioaktif berupa senyawa homarine dan pridiniumbetain (Granato et al. 2000). Selain itu Pelletier dan cava (1987) menemukan senyawa aaptamine, demethylaaptamine dan demethyloxyaaptamine pada spons Aaptos aaptos memiliki kemampuan sebagai antitumor, antimikroba dan kemampuan menghalangi aktivitas α-adrenoceptor. Penelitian mengenai senyawa bioaktif yang dikandung spons Petrosia sp. juga telah banyak dilakukan sebelumnya. Grug (2001) menyatakan bahwa spons tersebut mengandung senyawa yang termasuk dalam kelompok polyacetilene yang memiliki aktivitas biologi sebagai antimikroba, antifungi, antifouling, inhibitor H+ dan K+ - ATPase, inhibitor HIV, dan aktivitas immunosupressive serta antitumor.

Strategi untuk Mengetahui Potensi Anti-Kanker dari Sponge Petrosia sp
Untuk mengetahui potensi suatu senyawa antikanker dari suatu biota laut harus dilakukan pengujian yang akan membuktikan potensi antikanker dari suatu biota. Uji tersebut adalah:
1. Ekstraksi
            Ekstraksi adalah penyarian zat-zat aktif dari bagian tanaman atau bahan hayati. Adapun tujuan dari ekstraksi yaitu untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Berdasarkan fase yang terlibat, ekstraksi dibagi dua. Pertama adalah ekstraksi padat-cair (Solid Extraction/Leaching). Digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut dari campurannya dengan zat padat yang tak dapat larut. Ekstraksi zat padat adalah mengambil zat padat / cair dalam campuran zat padat. Syarat pelarut dalam ekstraksi, dapat melarutkan komponen yang diinginkan tapi tidak dapat bercampur. Kedua adalah ekstraksi cair-cair (Liquid Extraction). Ektraksi zat cair dengan pelarut zat cair digunakan untuk memisahkan 2 zat cair yang saling bercampur dengan menggunakan perarut yang melarutkan salah satu zat dalam campuran itu.
2. Fraksinasi
            Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran dibagi dalam beberapa jumlah fraksi komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada diatas. Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat diekstraksi dengan pelarut organik.
3. Uji Sitotoksik
Dasar dari uji sitotoksik adalah kemampuan sel untuk bertahan hidup karena adanya  senyawa toksik. Kemampuan sel untuk bertahan hidup dapat diartikan sebagai tidak hilangya metabolik atau proliferasi dan dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel, naiknya jumlah protein, atau DNA yang disintesis. Metode yang digunakan untuk mengukur kemampuan bertahan hidup dan proliferasi adalah plating efficiency dengan parameter pengujian perbedaan konsentrasi sampel, perbedaan waktu paparan dan kerapatan sel (Fresney,1996).
Uji sitotoksik secara in vitro menggunakan kultur sel digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antikanker dari suatu senyawa. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh system uji sitotoksik, baik untuk evaluasi keamanan senyawa atau untuk mendeteksi aktivitas antikanker suatu senyawa. Sistem uji tersebut harus menghasilkan kurva dosis respon yang reproduksibel dan menggambarkan efek senyawa yang sama bila diberikan secara in vivo.  Uji sitotoksik untuk uji aktivitas antineoplastik menunjukkan adanya  perbedaan respon yang diberikan oleh sel kanker lebih besar dari sel normal (Fresney, 1996)
Biasanya hasil isolate diujikan pada sel myeloma yang merupakan sel kanker limfosit B yang berasal dari tikus (Mus musculus). Sel myeloma memproduksi imunoglobulin abnormal yang disebut protein monoklonal (semua protein yang dihasilkan mempunyai identitas dan fungsi yang sama, yang merupakan suatu defisiensi) atau protein M. Produksi protein M menyebabkan tingkat protein yang tinggi di dalam darah. Sel myeloma merupakan akumulasi malafungsi atau kanker dari plasma sel. Dari hasil test terhadap sel myeloma nantinya dapat terlihat potensi anti-kanker pada sponge dan juga konsentrasinya.

Kesimpulan
Potensi dari biota-biota laut sebagai sumber bahan bioaktif sangat tinggi namun penelitiannya baru diteliti akhir-akhir ini. Berbagai jenis senyawa dengan bermacam-macam bioaktivitas telah ditemukan dari biota tersebut mulai dari antibakteri, anti jamur anti virus, antiplasmodium dan sebagainya. Walaupun sampai saat ini pemanfaatan biota laut di Indonesia masih belum optimal terutama di bidang farmasi. Diantara berbagai biota laut, sponge merupakan sumber bahan bioktif yang paling kaya.
Potensi sitotoksik yang dimiliki oleh Petrosia sp. diharapkan dapat digunakan sebagai sumber senyawa antitumor atau antikanker baru, mengingat kanker masih merupakan penyakit penyebab kematian utama di dunia. Selain Petrosia sp, spons lain seperti Aaptos aaptos juga memiliki khasiat sebagai antikanker.
 Dari hasil pengujian bioaktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. terhadap bakteri target dan Artemia salina menunjukkan hasil yang bervariasi pada sampel alam dan transplantasi. Untuk mengetahui potensi suatu senyawa antikanker dari suatu biota laut harus dilakukan pengujian yang akan membuktikan potensi antikanker dari suatu biota yaitu pengujian sitotoksik.

Daftar Acuan :
Anonim. 2013. Sel Mieloma. http://id.wikipedia.org/wiki/Sel_mieloma. Diakses
            pada 11 April 2013 Pukul 7:35 PM.

Anonim. 2013. Uji Toksikologi.  http://catatanpemim.blogspot.com/2012/
06/uji-toksisitas-dengan-metode-bslt.html. Diakses pada 11 April 2013 Pukul 7:35 PM.

Nurhayati, Awik Dyah Nurhayati. 2006. Uji Toksisitas Ekstrak Eucheuma Alvarezii terhadap Artemia Salina sebagai Studi Pendahuluan Potensi Antikanker. Surabaya. ITS

disusun oleh : 
Gilang Gunawan         230210100023
Nikita Ayu Shabrina   230210100024
Ghalib Kamal Ghalib  230210100025
Lola Nurul Afiffah     230210100027
Desta Tansya H           230210100028
R. Elsa Nurmandhini  230210100029

ROV (Remotely Operated Vehicle)


            ROV (Remotely Operated Vehicle) adalah wahana bawah air yang bertenaga listrik dan dikontrol melalui pusat, dapat bermanuver sesuai perintah manusia dengan pendorong (thruster) hidrolik atau elektrik (Hoong, 2010).  Di dalam ROV biasanya terdapat CCD (kamera video) dan lampu pencahayaan.  Beberapa instrumen dapat ditambahkan untuk menambahkan kemampuan ROV seperti kamera, manipulator, water sampler, CTD ( Conductivity, Temperature and Depth) (NOAA, 2010). Remote Operation Vehicle secara luas dikenal sebagai nama umum bagi kapal selam mini yang kerap digunakan pada industri minyak dan gas lepas pantai. Kapal selam ini tak berawak, tapi dioperasikan dari kapal lain. ROV memiliki kamera sehingga dapat menampilkan gambar keadaan bawah laut secara real time kepada pengendali ROV. Bila dari gambar yang terlihat menampilkan sesuatu yang dianggap penting untuk diteliti maka akan lebih banyak lagi sensor yang digunakan untuk memeriksa keadaan di lokasi tersebut lebih detail lagi.

Gambar 1. ROV
sumber : http://www.oceaneering.com/wp-content/uploads/2011/07/ROV-Spectrum-Cut-out.jpg

            ROV biasanya dikembangkan oleh lembaga penelitian. Salah satu merk ROV yang dikembangkan oleh Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) ialah JASON yang mampu menjelajah hingga kedalaman 6500 meter. Sejak tahun 2002 JASON telah kurang lebih menyelam sebanyak 485 kali. ROV pertama kali yang dilibatkan dalam mendukung pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai adalah RCV-225 dan RCV-150 yang dibuat oleh HydroProducts, Amerika Serikat.
Kegunaan ROV ini biasanya digunakan untuk mengetahui keadaan ekosistem laut dalam. Selain itu ROV juga banyak digunakan oleh para pekerja di rig oil & gas untuk mengecek struktur rig yang telah atau akan dipasang. Pemakaian ROV digunakan baik untuk kalangan militer, bisnis atau komersial, maupun akademis dan riset. Contoh untuk tujuan komersil di dunia pengeboran minyak dan gas lepas pantai adalah sebagai berikut:
1.    Menyertai para penyelam, untuk meyakinkan bahwa para penyelam dalam keadaan aman dan siap memberi bantuan
2.    Inspeksi atau pemeriksaan anjungan atau kilang minyak, dari mulai pemeriksaan visual sampai menggunakan alat tertentu untuk memonitor efek dari korosi, kesalahan konstruksi, mencari lokasi keretakan, estimasi biologi untuk pencemaran
3.    Inspeksi Jalur pipa, mengikuti jalur pipa bawah laut untuk mengecek adanya kebocoran, menentukan perkiraan umur pipa dan meyakinkan bila instalasi pipa dalam kondisi baik.
4.    Survei, baik visual maupun survei menggunakan gelombang suara, diperlukan sebelum pemasangan pipa, kabel, dan fasilitas bawah laut lainnya.
5.    Pendukung pengeboran dan konstruksi, dari inspeksi visual, memonitor pelaksanaan pengeboran dan konstruksi, sampai melakukan perbaikan-perbaikan jika diperlukan.
6.    Memindahkan benda-benda berbahaya di dasar laut, terutama di sekitar fasilitas bangunan seperti kilang minyak. ROV terbukti lebih bisa menekan biaya untuk menjaga daerah tersebut tetap aman dan bersih.
Di bidang telekomunikasi ROVdigunakan untuk mendukung pekerjaan pemasangan kabel telekomunikasi bawah laut, selain memonitor, juga menjaga agar pemasangan kabel sesuai dengan prosedur sehingga terlindung dari gangguan nelayan (kapal trawler) dan kemungkinan kapal membuang jangkar. Selain itu dalam bidang rise ROVdigunakan untuk menginvestigasi perubahan-perubahan yang terjadi di dasar laut pasca gempa dan tsunami.
Prinsip kerja dari ROV adalah ROV bekerja dengan sebuah kontroler yang berada di permukaan air laut (biasanya dikapal). Dari sana operator menggerakan ROV dan mengatur segala kegiatan yang akan dilakukan oleh ROV seperti pengambilan sampel air laut, gerakan kamera video dan lain sebagainya. Antara ROV  dan kontroler dihubungkan oleh kabel.

Gambar 2. Komponen dasar sistem ROV
Sumber: Christ dan Wernli, 2007
            ROV tersusun dari satu set pengapung besar di atas sasis baja atau aluminium agar. Pengapung itu biasanya terbuat dari busa sintetis. Di bagian bawah konstruksi terpasang alat-alat sensor yang berat. Komposisi ini–komponen ringan di atas dan berat di bawah–akan menghasilkan pemisahan yang besar antara pusat apung dan pusat gravitasi. Maka alat ini pun lebih stabil di dasar laut saat melakukan tugas-tugasnya. ROV memiliki kemampuan manuver yang tinggi. Kabel tambat berfungsi mengirimkan energi listrik serta data video dan sinyal. Saat bertugas memasang kabel-kabel listrik tegangan tinggi, ROV biasanya ditambahkan tenaga hidrolik.   Sistem ROV terdiri atas vehicle (atau sering disebut ROV itu sendiri), yang terhubung oleh kabel umbilical ke ruangan kontrol dan operator di atas permukaan air (bisa di kapal, rig atau barge). Yang paling juga adalah sistem kendali, sistem peluncuran dan sistem suplai tenaga listrik maupun hidrolik. Melalui kabel umbilical, tenaga listrik dan hidrolik, juga perintah-perintah, atau sinyal-sinyal kontrol, disampaikan dari ruang kontrol ke ROV, secara dua arah.
Berdasarkan ukuran, berat, dan kekuatannya, ROV dibagi menjadi berikut:
1.        Micro - ROV tipe mikro memiliki ukuran dan erat yang sangat kecil. Sekarang beratnya bisa di bawah 3 kg. ROV ini biasa digunakan untuk membantu penyelam, secara spesifik untuk mengakses tempat yang tidak bisa dijangkau seperti gua kevil dan jalur pipa.
2.        Mini - ROV tipe ini memiliki berat kurang lebih 15 kg. ROV tipe mini dapat dikendarai oleh satu orang seperti kapal kecil.
3.        General - tipe ini memiliki kekuatan di bawah 5 HP. Biasanya dilengkapi unit sonar dan digunakan untuk survey bawah air. Tipe ini dapat mencapai kedalaman dibawah 1000 meter dan ada juga yang dibuat untuk mencapai kedalaman 7000 meter.
4.        Light workclass - tipe ini memiliki kekuatan kira-kira 50 HP. Biasanya memiliki tiga kegunaan. Dibuat dengan bahan polyethylene, stainless steel atau campuran alumunium. Tipe ini mampu mencapai kedalaman di bawah 2000 meter.
5.        Trenching/burial - tipe ini memiliki kekuatan lebih dari 200 HP dan dapat mencapai kedalaman sampai 6000 meter (Remotely Operated Vehicle, 2006).
Sistem ROV pada umumnya bekerja diatas wahana apung seperti kapal, barge, atau rig. Bila sistem ROV dipasang diatas kapal, maka posisi ROV di bawah laut akan mengacu pada titik referensi di kapal. Untuk keperluan survei, kapal biasanya menggunakan DGPS (Differential Global Positioning System) sebagai penentuan posisi utamanya. Sedangkan untuk posisi di bawah laut, sistem ROV dilengkapi dengan alat penentuan posisi bawah laut menggunakan gelombang suara (Acoustic Underwater Positioning). Salah satu metode ini adalah Ultra Short BaseLine (USBL), yang akan mengukur jarak, kedalaman, dan azimut ROV terhadap transduser USBL yang dipasang di kapal. Posisi ROV dan data navigasi lainnya, dalam sistem koordinat tertentu akan didapat dan melalui perangkat lunak navigasi tertentu, akan dikirimkan secara real time ke ruang kontrol ROV.


REFERENSI
Andika, Anggri. 2010. ROV. http://anggriandika.wordpress.com/2010/05/13/rov/. Diakses pada tanggal 10 Juni2013 pada pukul 22.00 WIB

Anonim. 2010. ROV. http://zonalaut.com/oceanografi/oceanografi/rov-remotely-operated-vehicle-. Diakses pada tanggal 10 Juni2013 pada pukul 22.00 WIB

Anonim. 2012. ROV. http://www.ilmukelautan.com/instrumentasi-dan-hidroakustik/instrumentasi-kelautan/396-sekilas-tentang-rov. Diakses pada tanggal 10 Juni 2013 pada pukul 22.00 WIB

Fitri, Dini. 2009. ROV. http://dinifitri.blogspot.com/2009/01/tahap-tahap-pembuatan-robot.html. Diakses pada tanggal 10 Juni 2013 pada pukul 22.00 WIB

Khairunnisa, Azzahra. 2010. ROV. http://azzahrakhairunnisa.blogspot.com/ 2012/03/rov-remotely-operated-vehicle.html. Diakses pada tanggal 10 Juni2013 pada pukul 22.00 WIB

NOAA. 2010. Remotely Operated Vehicles (ROV). http://oceanexplorer.noaa.gov /technology/subs/rov.html. Diakses pada tanggal 10 Juni2013 pada pukul 22.00 WIB