Sampai saat ini
kanker masih merupakan salah satu penyakit penyebab kematian utama di dunia.
Berbagai macam senyawa telah dikembangkan melawan kanker yang meliputi
senyawa-senyawa pengalkilasi, antimetabolit, obat-obat radiomimetik, hormon dan
senyawa antagonis (Cram et al., 1992; Calabresi and Chabner, 1991; Hoppe et
al., 1992; Lorgan et al., 1996). Akan tetapi tak satupun jenis senyawa-senyawa
ini menghasilkan efek yang memuaskan dan tanpa efek samping yang merugikan
(Green et al., 1982; Herzig et al., 1987). Senyawa organik yang berasal dari sumber alam hayati
terdiri dari 2 kelompok senyawa berdasarkan proses metabolismenya yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini kemudian lebih dikenal dengan senyawa organik bahan alam (natural products).
Kehadiran
metabolit sekunder telah memberikan ciri khas
tersendiri bagi organisme yang menghasilkannya. Biosintesis metabolit sekunder berasal dari metabolit primer yang dimulai dari proses fotosintesis yang membentuk glukosa. Selanjutnya glikolisis dari glukosa akan menghasilkan posfoenol piruvat, yang berikutnya akan menghasilkan asam shikimat dan asetil koenzim-A (menurunkan asam mevalonat dan asam malonat), yang pada akhirnya akan menghasilkan beragam bentuk struktur molekul senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok berdasarkan struktur molekul dan komposisinya, diantaranya yaitu: terpenoid, steroid, flavonoid, alkaloid, kumarin, kuinon, dan lignan.
Salah satu
senyawa organik bahan alam yang berasal dari jenis alkaloid bisindol seperti Vinblastin dan vinkristin, telah
berhasil diisolasi dari tumbuhan Catharanthus roseus (Apocynaceae)
dan sangat terkenal sebagai obat antikanker.
Penemuan vinblastin pertama kali dilaporkan oleh Noble dan
Beer (1958) dari University of Western Ontario dan vinkristin
dilaporkan pertama kali oleh Svoboda (1962) dari perusahaan
Eli Lilly. Vinkristin digunakan pada kemoterapi penyakit leukemia, sedangkan vinblastin digunakan pada kemoterapi kanker kandung kemih dan payudara. Senyawa antikanker lain yang berhasil ditemukan adalah taksol yang diisolasi dari Taxus brevifolia (Taxaceae) pada tahun 1971 oleh Wall dan Wani. Taksol memiliki struktur unik yang termasuk anggota kelompok senyawa diterpenoid taksan. Taksol dikenal juga dengan nama generik paclitaxel telah disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 1992 untuk pengobatan kanker ovarium, diikuti pada tahun 1994 untuk pengobatan kanker payudara.
Taksol
merupakan senyawa fenomenal dengan nilai jual telah
melebihi 1 milyar dollar pada tahun 1998 dan pada tahun 2006
telah mencapai 1,6 milyar dollar yang diproduksi oleh
Bristol Myers-Squibb. Saat ini produksi taksol telah menggunakan
teknologi fermentasi sel tumbuhan. Belakangan juga telah
dilakukan semisintesis untuk menghasilkan beberapa produk
analog taksol. Metabolit yang dihasilkan oleh mikroorganisme sudah lama diketahui memiliki aktivitas
antitumor, bahkan banyak diantara senyawanya sangat
terkenal untuk kemoterapi penyakit kanker. Bermula disekitar tahun
1940 ketika ditemukannya aktinomisin, maka sesudahnya
banyak bermunculan obat-obat antikaker baru dari sumber
mikroorganisme.
Obat-obat
dari sumber mikroba yang telah disetujui penggunaannya sebagai antikanker adalah aktinomisin D, antrasiklin (daunorubisin, doksorubisin, epirubisin, pirarubisin dan valrubisin), bleomisin, mitomisin C, dan antrasenon (mitramisin, streptozotosin dan pentostatin). Aktinomisin D merupakan metabolit
mikroba paling awal yang disetujui penggunaannya
untuk terapi kanker oleh FDA pada tahun 1964. Aktinomisin D
diperoleh pertama kali dari Actinomyces antibioticus (sekarang Streptomyces
antibioticus) oleh Waksman dan Woodruff pada
tahun 1941. Senyawa-senyawa antrasiklin yang diperoleh dari mikroba juga diketahui sangat efektif digunakan sebagai antikanker. Senyawa antrasiklin pertama yang ditemukan adalah daunorubisin (daunomisin) pada tahun 1966 yang dihasilkan oleh Streptomyces peucetius, menyusul setahun kemudian dikembangkan doksorubisin
(adriamisin). Antrasiklin lain sebagai antikanker, yaitu
epirubisin (1984), pirarubisin (1988), dan terakhir valrubisin (1999)
sebagai produk semisintetik yang digunakan pengobatan kanker
kandung kemih.
Sumber
daya alam kelautan memiliki potensi besar sebagai sumber penghasil obat-obatan. Walaupun belum ada obat yang berasal dari sumber bahan alam kelautan yang telah disetujui penggunaannya dan telah dikomersialkan, namun cukup banyak senyawa-senyawa bioaktif yang telah berhasil ditemukan dari sumber tersebut. Disamping itu, ada beberapa
senyawa antikanker lain yang sedang dalam tahap uji praklinis,
yaitu: laulimalida (Cacospongia mycofijiensis), kurasin A (Lyngbya
majuscula), vitilevuamida (Didemnum cucliferum),
diazonamida (Diazona angulata), sarkodiktiin (Sarcodictyon
roseum), pelorusida A (Mycale hentscheli), tiokoralin (Micromonospora
marina) dan variolin B (Kirpatrickia variolosa).
Potensi
biota laut sebagai sumber bahan bioaktif baru banyak diteliti dalam
tahun-tahun terakhir, meskipun belum sebanyak
penelitian terhadap biota darat. Sejarah evolusi yang
panjang pada biota laut menyebabkan biota laut mempunyai
keaneka ragaman molekul yang sangat tinggi.
Berbagai jenis senyawa dengan bermacam-macam
bioaktivitas telah ditemukan dari biota tersebut mulai dari
antibakteri, anti jamur anti virus, antiplasmodium dan
sebagainya. Walaupun sampai saat ini pemanfaatan biota laut di Indonesia masih belum optimal terutama di bidang
farmasi. Diantara berbagai biota laut, sponge merupakan sumber bahan bioktif yang paling kaya (Belarbi et al, 2003). Misalnya, spons mengandung senyawa anti virus (Wipf and Lim, 1995, Cutignano et al, 2000, Welington et al, 2000), antibakteri (Cafieri et al, 1998 Pettit et al, 1997), anti jamur (Sata et al, 1999 Clarks et al,
1998), dan anti kanker (Septic et al, 1997).
Beberapa
senyawa yang memiliki aktifitas farmakologi sudah
berhasil diisolasi dari spons. Didemnin B merupakan senyawa hasil isolasi
dari Trididemnum solidum dilaporkan mempunyai aktivitas antitumor dan antivirus. Dalam spons Luffariella variabilis
terdapat senyawa Luffariellolida yang berkhasiat antiinflamasi (David and Oscar, 1993). Callyspongia sp. merupakan salah satu jenis spons yang banyak tumbuh di perairan wilayah Indonesia. Spons
ini adalah salah satu biota laut yang mengandung berbagai metabolit
sekunder yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat (Satari,
1999). Isolat dari spons ini dilaporkan
memiliki aktivitas antikanker, antimikroba dan antiparasit (Amir dan Budiyanto, 1996).
Spons
merupakan organisma multiseluler tak bertulang belakang yang
potensial dijadikan bahan eksplorasi pencarian
senyawa baru antikanker karena spons merupakan
penghasil senyawa bioaktif antiviral maupun
senyawa sitotoksik (Garson, 1994). Studi pendahuluan telah dilakukan dengan tujuan untuk menskrining
senyawa toksik dari beberapa spesies spons laut dengan metode Brine Shrimp
Lethality Test (BST) (Astuti et al., 2002; Astuti et al, 2003; Carballo et al.,
2002). Dua isolat toksik terhadap larva Artemia salina Leach dari spons laut
Petrosia sp telah berhasil diisolasi.
Dari
studi literatur, diketahui bahwa senyawa yang telah berhasil diisolasi dari
genus Petrosia di antaranya Petrosin-A dan -B, dua Alkaloid
bis-Kuinolizidin baru dari spons Petrosia seriata (Braekman
et al., 1984), alkaloid manzamin A aktif
sitotoksik dan dideoxypetrosynol A yang aktif sebagai
antitumor pada sel melanoma manusia (Kim et
al., 1998),
Petrocortynes A-C, Petrosiacetylenes A-C aktif sitotoksik (Seo et al., 1998),
serta Manzamin A, dan 8-OH Manzamin A dari Petrosia sp. yang dikoleksi dari
perairan pantai Bunaken-Manado aktif menghambat proliferasi beberapa sel kanker
manusia secara in vitro (Gemini et al., 2005). Potensi sitotoksik yang dimiliki
oleh Petrosia sp. diharapkan dapat digunakan sebagai sumber senyawa antitumor
atau antikanker baru, mengingat kanker masih merupakan penyakit penyebab
kematian utama di dunia (Astuti et al., 2005).
Spons Petrosia sp. Memiliki ukuran yang beragam, mulai jenis berukuran sebesar jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran garis tengahnya 0,9 m dan
tebalnya 30,5 cm. Untuk mempertahankan diri dari
predator, spons memiliki senjata perisai
berupa senyawa kimia membentuk metabolit sekunder, yang ditakuti dan
dihindari predator karena beracun. Sesuai dengan fungsinya untuk melindungi diri
dari predator, senyawa ini bersifat toksik dan berkhasiat juga sebagai
antikanker (cytotoxic) dan antibiotik (McConnaughey, 1970 in Munifah et al., 2008). Menurut Lindgren (1897),
klasifikasi spons laut Petrosia nigricans adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Porifera
Kelas : Demospongia
Ordo : Haplosclerida
Sub Ordo : Petrosina
Famili : Petrosiidae
Genus : Petrosia sp.
Spesies : Petrosia nigricans
Genus Petrosia
sp. memiliki tujuh spesies dengan karakteristik tubuh yang massif, tebal, kokoh, dan berbentuk pipa. Warna yang dimiliki pun beraneka ragam yaitu kuning hingga cokelat (Petrosia alfiani), merah
kecoklatan hingga hitam (Petrosia hoeksemai),
cokelat keemasan (Petrosia lignosa), cokelat kehitaman (Petrosia nigricans), cokelat keabuan hingga cokelat gelap
(Petrosia plana), kuning kehijauan hingga menjadi
cokelat (Petrosia carcicata), dan cokelat tua hingga hitam (Petrosia
strongylata). Spons Petrosia ini biasanya terdapat di perairan dangkal hingga perairan sampai kedalamannya 45 meter. Spons ini
juga dapat hidup pada habitat berkarang baik karang hidup maupun mati, habitat rubble (pecahan karang), dan habitat berpasir (De Voogd, 2005).
Selain
Petrosia sp, spons lain seperti Aaptos aaptos juga memiliki khasiat
sebagai antikanker. Dari hasil pengujian bioaktivitas antibakteri dan toksisitas
senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos
dan Petrosia sp. terhadap bakteri
target dan Artemia salina menunjukkan
hasil yang bervariasi pada sampel alam dan transplantasi. Secara keseluruhan,
spons Aaptos aaptos menunjukkan
bioaktivitas yang lebih tinggi daripada Petrosia
sp. Hal ini disebabkan oleh senyawa bioaktif yang dikandung oleh kedua
spons merupakan senyawa dengan struktur dan jenis yang berbeda. Pada spon Aaptos aaptos mengandung senyawa
homarine dan piridiniumbetain B (Granato et
al. 2000).
Bergquist (1991,
diacu dalam Miller et al. 1969) dan
Pelletier et al. (1987) mengemukakan
lebih lanjut bahwa Aaptos mengandung
senyawa aaptamine dan senyawa demethyloxyaaptamine yang termasuk dalam golongan
alkaloid. Sedangkan spons Petrosia sp. diketahui mengandung senyawa yang termasuk ke dalam
kelompok poliasetilen. Senyawa ini diketahui memiliki potensi sebagai
antimikroba, antifungi, antifouling, H+, inhibitor K+-ATPase,
inhibitor HIV, dan aktivitas antitumor serta immunosuppresive (Young et al.
1999; Kim et al. 2002; www.cas.muohio.edu).
Penelitian-penelitian
yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap Aaptos
aaptos menunjukkan bahwa spons ini memiliki senyawa bioaktif berupa senyawa
homarine dan pridiniumbetain (Granato et
al. 2000). Selain itu Pelletier dan cava (1987) menemukan senyawa
aaptamine, demethylaaptamine dan demethyloxyaaptamine pada spons Aaptos aaptos memiliki kemampuan sebagai
antitumor, antimikroba dan kemampuan menghalangi aktivitas α-adrenoceptor.
Penelitian mengenai senyawa bioaktif yang dikandung spons Petrosia sp. juga telah banyak dilakukan sebelumnya. Grug (2001)
menyatakan bahwa spons tersebut mengandung senyawa yang termasuk dalam kelompok
polyacetilene yang memiliki aktivitas biologi sebagai antimikroba, antifungi,
antifouling, inhibitor H+ dan K+ - ATPase, inhibitor HIV,
dan aktivitas immunosupressive serta antitumor.
Strategi
untuk Mengetahui Potensi Anti-Kanker dari Sponge Petrosia sp
Untuk mengetahui
potensi suatu senyawa antikanker dari suatu biota laut harus dilakukan pengujian yang akan membuktikan
potensi antikanker dari suatu biota. Uji
tersebut adalah:
1. Ekstraksi
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat aktif dari bagian tanaman atau bahan
hayati. Adapun tujuan dari ekstraksi yaitu untuk menarik komponen kimia yang
terdapat dalam simplisia. Berdasarkan
fase yang terlibat, ekstraksi dibagi dua. Pertama adalah ekstraksi padat-cair
(Solid Extraction/Leaching). Digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut
dari campurannya dengan zat padat yang tak dapat larut. Ekstraksi zat padat
adalah mengambil zat padat / cair dalam campuran zat padat. Syarat pelarut
dalam ekstraksi, dapat melarutkan komponen yang diinginkan tapi tidak dapat
bercampur. Kedua adalah ekstraksi cair-cair (Liquid Extraction). Ektraksi zat
cair dengan pelarut zat cair digunakan untuk memisahkan 2 zat cair yang saling
bercampur dengan menggunakan perarut yang melarutkan salah satu zat dalam
campuran itu.
2. Fraksinasi
Fraksinasi
adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran dibagi dalam
beberapa jumlah fraksi komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau
pemisahan ini didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat
akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada diatas.
Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter,
aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam
lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan
dapat diekstraksi dengan pelarut organik.
3. Uji
Sitotoksik
Dasar dari uji
sitotoksik adalah kemampuan sel untuk bertahan hidup karena adanya senyawa toksik. Kemampuan sel untuk bertahan
hidup dapat diartikan sebagai tidak hilangya metabolik atau proliferasi dan
dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel, naiknya jumlah protein, atau DNA
yang disintesis. Metode yang digunakan untuk mengukur kemampuan bertahan hidup
dan proliferasi adalah plating efficiency dengan parameter pengujian perbedaan
konsentrasi sampel, perbedaan waktu paparan dan kerapatan sel (Fresney,1996).
Uji sitotoksik
secara in vitro menggunakan kultur sel digunakan untuk mendeteksi adanya
aktivitas antikanker dari suatu senyawa. Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh system uji sitotoksik, baik untuk evaluasi keamanan senyawa atau
untuk mendeteksi aktivitas antikanker suatu senyawa. Sistem uji tersebut harus
menghasilkan kurva dosis respon yang reproduksibel dan menggambarkan efek
senyawa yang sama bila diberikan secara in vivo. Uji sitotoksik untuk uji aktivitas
antineoplastik menunjukkan adanya
perbedaan respon yang diberikan oleh sel kanker lebih besar dari sel
normal (Fresney, 1996)
Biasanya hasil
isolate diujikan pada sel myeloma yang merupakan sel kanker limfosit B yang
berasal dari tikus (Mus musculus).
Sel myeloma memproduksi imunoglobulin abnormal yang disebut protein monoklonal
(semua protein yang dihasilkan mempunyai identitas dan fungsi yang sama, yang
merupakan suatu defisiensi) atau protein M. Produksi protein M menyebabkan
tingkat protein yang tinggi di dalam darah. Sel myeloma merupakan akumulasi
malafungsi atau kanker dari plasma sel. Dari hasil test terhadap sel myeloma
nantinya dapat terlihat potensi anti-kanker pada sponge dan juga
konsentrasinya.
Kesimpulan
Potensi dari biota-biota laut sebagai sumber bahan bioaktif sangat tinggi
namun penelitiannya baru diteliti akhir-akhir ini. Berbagai jenis senyawa dengan bermacam-macam bioaktivitas telah ditemukan dari biota tersebut mulai dari antibakteri, anti jamur anti virus, antiplasmodium dan sebagainya. Walaupun sampai saat ini pemanfaatan biota laut di Indonesia masih belum optimal terutama di bidang
farmasi. Diantara berbagai biota laut, sponge merupakan sumber bahan bioktif yang paling kaya.
Potensi sitotoksik yang dimiliki oleh Petrosia sp. diharapkan dapat
digunakan sebagai sumber senyawa antitumor atau antikanker baru, mengingat
kanker masih merupakan penyakit penyebab kematian utama di dunia. Selain Petrosia sp, spons lain seperti Aaptos aaptos juga memiliki khasiat
sebagai antikanker.
Dari hasil pengujian bioaktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa
ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan
Petrosia sp. terhadap bakteri target
dan Artemia salina menunjukkan hasil
yang bervariasi pada sampel alam dan transplantasi. Untuk
mengetahui potensi suatu senyawa antikanker dari suatu biota laut harus
dilakukan pengujian
yang akan membuktikan potensi antikanker dari suatu biota yaitu pengujian
sitotoksik.
Daftar Acuan :
Anonim. 2013. Sel Mieloma. http://id.wikipedia.org/wiki/Sel_mieloma. Diakses
pada 11 April 2013 Pukul 7:35 PM.
Anonim. 2013. Uji Toksikologi.
http://catatanpemim.blogspot.com/2012/
06/uji-toksisitas-dengan-metode-bslt.html.
Diakses pada 11 April 2013 Pukul 7:35 PM.
Nurhayati, Awik Dyah Nurhayati. 2006. Uji Toksisitas Ekstrak Eucheuma
Alvarezii terhadap
Artemia Salina sebagai Studi Pendahuluan Potensi Antikanker. Surabaya. ITS
disusun oleh :
Gilang Gunawan
230210100023
Nikita Ayu Shabrina 230210100024
Ghalib Kamal Ghalib 230210100025
Lola Nurul Afiffah 230210100027
Desta Tansya H 230210100028
R. Elsa Nurmandhini 230210100029